Sabtu, 07 Januari 2012

Film "Keramat", ketidaksengajaan yang berbuntut horor


Pernah ingat dengan film "Cloverfield" (2008) produksi Hollywood? Di film itu, sekelompok pemuda tengah mendokumentasikan perpisahan rekannya sebelum akhirnya monster besar datang mengguncang.

Nah, di film "Keramat" kurang lebih anglenya sama. Sekelompok muda-mudi berkunjung ke Yogyakarta untuk penggarapan sebuah film. Hanya saja disini, kamera mengikuti untuk dijadikan dokumentasi behind the scene.

Film dibuka dengan layar yang masih hitam. Hanya sedikit suara grasak-grusuk, yang kemudian muncul gambar pertama, seorang gadis berambut pendek dengan senyum manis yang hendak andil dalam sebuah film bertajuk "Menari di Atas Angin".

Gadis itu bernama Migi (Migi Parahita) dan pemegang kamera bernama Poppy (Poppy Sovia). Nantinya, Migi akan berpasangan dengan Diaz (Diaz Ardiawan), pemeran utama laki-laki.

Namanya juga dokumentasi, jadi tak ada adegan apapun di film tersebut. Benar-benar layaknya sebuah dokumentasi disertai perilaku sutradara perempuan yang galak bernama Mia (Miea Kusuma), asisten sutradara Sadha (Sadha Triyudha), unit produksi Brama (Brama Sutasara), dan line producer Dimas (Dimas Projosujadi).

Hingga suatu ketika Mia kesurupan. Merasa memerlukan bantuan, maka rekan-rekannya memanggil seorang paranormal yang bisa bicara dengan seorang perempuan ningrat Jawa yang sangat kemayu. Perempuan itu berpesan bahwa dirinya sayang dengan Migi, namun alam tengah marah karena dirusak manusia. Hal itu pulalah yang menjadi petunjuk tentang gempa bumi di Yogyakarta beberapa tahun lalu.

Disutradarai Monty Tiwa, Anda dibawa untuk mengikuti apa yang dirasakan para pemain film. Bagaimana seluruh pemain justru masuk ke dalam dunia lain dan harus berusaha keras keluar dari dunia itu sebelum matahari terbit. Jika tidak, maka mereka semua akan terjebak di dalamnya.

Kepiawaian Monty sebagai sutradara mungkin sudah tak diragukan lagi, namun di filmnya kali ini ia benar-benar membawanya lebih hidup dengan satu buah kamera dengan pengambilan sudut yang berbeda.

Secara keseluruhan, film ini memang bergenre horor, dan nuansa horor itu lebih mengarah pada mistik di mana untuk masyarakat Jawa masih banyak publik yang mempercayai hal kecil. Seperti suara tangisan di malam hari, ada penunggu hutan yang berwujud perempuan cantik dengan para pengawalnya.

Nuansa kota Yogyakarta, Candi Boko, Pantai Parangtritis serta Gunung Merapi menjadi latar belakang film. Mungkin Anda akan sedikit bingung dengan banyaknya loncatan film, tapi paling tidak kengerian serta ketakutan yang dialami pemain bisa juga Anda rasakan.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev home